Istilah “almamater” tidak lepas dari kata sekolah, yang berasal dari bahasa Latin, yaitu “scolae, skhole, scola, atau schola” yang artinya “waktu luang.” Dahulu para orang tua di Yunani mengisi waktu luang anaknya dengan bermain serta mengajarkan berbagai hal mengenai kehidupan dengan cara mengunjungi suatu tempat untuk mempelajari hal ikhwal yang mereka rasakan butuh untuk mereka ketahui. Sampai pada saat orang tua tidak mampu lagi meluangkan waktunya untuk anak mereka karena mulai disibukkan dengan pekerjaan, maka dititipkanlah anak-anak tersebut kepada orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan untuk mengisi waktu-waktu luang anaknya untuk bermain dan sesekali belajar. Sebagian besar pendapat yang ada menyebutkan, bahwa orang-orang tersebut diberi nama “alma mater” yang berarti “ibu pengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu,” yang sampai saat ini kita kenal dengan kata “almamater” dalam berbagai warna atau perspektif. Anak-anak tersebut kemudian diasuh dan diberikan bekal ilmu pengetahuan oleh almamater.Dari pengertian di atas, jelas bahwa almamater sendiri berposisi sebagai orang tua ketika anak atau tiap individu dititipkan padanya. Ada tanggung jawab besar yang harus ditanggungnya, memberikan bekal pengetahuan sekaligus mengasuh (yang dalam hal ini keadaan keseluruhan individu titipan tersebut tentunya juga menjadi tanggungjawab almamater).
Apabila kita lihat saat ini, almamater sendiri lebih diidentikan dengan institusi pendidikan yang memberikan pengajaran dan pendidikan kepada peserta didiknya, khususnya perguruan tinggi (PT) atau sekolah. Terlepas dari sedikit mengesampingkan semangat yang muncul dari awal istilah almamater, namun secara nyata dalam tiap institusi pendidikan terdapat (tanggungjawab) perlindungan terhadap peserta didiknya, serta terdapat proses saling alih ilmu atau pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, kemudian dari peserta didik sebelumnya ke peserta didik berikutnya.
Umumnya, hampir setiap pendidik yang memberikan pengajaran dan pendidikan di tempat ia pernah diasuh dan dibesarkan (intitusi pendidikan) akan memiliki rasa dan tanggungjawab yang berbeda dari pendidik yang berasal dari almamater lainnya. Sense of belonging adalah salah satu ciri yang mendasar, dan terlebih lagi “roh” dari intitusi pendidikannya akan lebih melekat dan mendorongnya untuk mengimplementasikan pendidikan dan pengajaran yang bercirikan institusi pendidikan tersebut (terutama visi misi dan tujuan insitusi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu tersebut tanpa dipaksa, ia telah memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan dan mengharumkan nama baik almamaternya.
Kecintaan individu dan almamaternya bak kecintaan akan rumah, keluarga, bangsa, bahkan akan dirinya sendiri. Kecintaan akan almamater adalah pegangan untuk keberlangsungan almamater itu sendiri. Dengan demikian almamater dapat dikatakan sebagai simbol dari tanggungjawab, totalitas bahkan militansi. Tanpa itu, almamater akan berputar formal dan menuju degradasi esensi, termasuk pula setiap individu di dalamnya (lunturnya ciri, semangat atau idealisme, dan sebagainya). Hal tanggungjawab holistik ini pula yang menunjukan absurd atau tidaknya keberadaan tiap individu untuk mempertahankan eksistensi dirinya di dalam sebuah almamater.
Bercermin dalam almamater
Bekal untuk hidup dalam sebuah almamater paling tidak — dengan menyadari adanya kepelbagaian yang tak dapat dinafikkan — sehingga isu SARA, kelas sosial, tingkat pendidikan, dan lain-lain, bukan lagi sesuatu yang harus dipermasalahkan karena akan berkontribusi bagi runtuhnya almamater. Dan apabila masih ada orang yang mempermasalahkannya, maka dengan melihat wacana eksistensi manusia, orang tersebut tidak lagi memanusiakan dirinya sendiri terlebih lagi orang lain. Ini akan menjadi masalah, terutama ketika kita hidup dalam kerangka universitas.
Indikator runtuhnya almamater tidak saja berkutat dalam permasalahan kepelbagaian manusia dan kontur-kontur lainnya dalam almamater, melainkan juga sikap yang tiap individu berikan terhadap almamater tersebut. Meskipun manusia hidup dengan “kemasing-masingannya,” dalam istilah Marthin Heidegger, Jemeinigkeit — artinya manusia bukan obyek melainkan subyek yang bebas untuk dapat berada atau mengada — namun tidak menjadi pengecualian atau alasan membenarkan sikap atau kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok yang beragam dengan kamuflase pengembangan almamater. Padahal, sikap dan kepentingan yang ada tidak lebih dari ibarat memeras susu sang ibu yang telah mengasuh dan memberikan ilmu pengetahuan (secara sembunyi-sembunyi), untuk meraih “air susu” yang dapat memuaskan masing-masing individu atau kelompok yang memperjuangkan kepentingannya. Biasanya hal ini sulit untuk diteropong, karena hampir secara keseluruhannya muncul dengan tajuk ilmiah, kerohanian, dan sosial kemasyarakatan yang diupayakan oleh institusi pendidikan. Apalagi, kebanyakan institusi pendidikan (terutama PT) mengibarkan jargon-jargon “peningkatan dan pengembangan SDM (pengajar) dan publikasi.” Pemerasan ini pula akan semakin bertambah lewat sikap “pengkhianatan” terhadap almamater, yang biasanya dilakukan dalam berbagai cara dan dapat kita tafsirkan dengan berbagai interpretasi.
Kesadaran umum
Beragam sikap, baik negatif atau positif, bagi almamater tentunya telah banyak orang sadari, terutama sebagai penghuni sarang ilmiah dan akademis. Memang secara empirik, setiap orang ingin menunjukkan eksistensinya masing-masing, namun ketika berada di dalam sebuah almamater, sinergi eksistensi pribadi dan almamater adalah suatu keharusan. Hal etis maupun tidak, bukan lagi harus menjadi dikte.
Di balik itu semua, hal mendasar yang memang menjadi kesadaran bersama, bahwa “resiko yang kita ambil tidak lebih dari sebatas jarak aman kita.” Lebih memilih sikap “lumayan” daripada “lebih,” mau “asal tidak sukar,” daripada “mau walaupun sukar.” Tanggungjawab, totalitas, maupun militansi, mari bersama-sama kita sematkan tanda “?”
“This is not the end of beginning. This is not the beginning of end.” Kalimat tersebut tepat untuk disampaikan untuk berbagai opini yang berkeliaran dalam wadah pembelajaran yang telah tersedia. Adapun guratan pikiran di atas sekadar langkah untuk menunjukkan keberadaan salah satu badan (terhadap badan-badan lain) yang peduli dengan eksistensi sebuah almamater, tempat badan tersebut dibesarkan. Jean Paul Sartre berpendapat bahwa badan manusia itu bukan saja obyek bagi mata orang lain. Sehubungan dengan badan itu pula, Sartre mengatakan, “Jika aku tak mencoba mengambil tanggung jawab atas eksistensiku, absurd rasanya untuk terus ada (The Age of Reason).”
Jimmy Siregar, mahasiswa Fakultas Teologi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar