jakarta, kompas – Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mewajibkan semua karya ilmiah program sarjana, magister, dan doktor lulusan setelah Agustus 2012 dimuat di jurnal ilmiah. Kebijakan tersebut dinilai sejumlah rektor tidak jelas dan membingungkan.
“Daya tampung jurnal ilmiah tidak sebanding dengan jumlah sarjana baru setiap tahun sehingga tidak mungkin setiap karya ilmiah termuat di jurnal,” kata Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat. Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri dan Rektor Universitas Binus Harjanto Prabowo, Sabtu (4/2), melontarkan pendapat senada.
Mereka menanggapi surat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 27 Januari 2012 yang ditujukan kepada rektor/ketua/direktur perguruan tinggi negeri dan swasta seluruh Indonesia.
Di dalam surat itu dipaparkan kewajiban memublikasikan karya ilmiah ke jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Untuk lulus program sarjana, harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah. Untuk program magister, harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang sudah terakreditasi oleh Ditjen Dikti. Adapun untuk program doktor, harus menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit di jurnal internasional.
Direktur Jenderal Dikti Kemdikbud Djoko Santoso yang menandatangani surat edaran itu menyebutkan alasan perlunya persyaratan itu. Jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia dinilai secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, yakni sekitar sepertujuh.
Para rektor menilai surat edaran itu membingungkan karena hanya disampaikan dalam satu lembar tanpa penjelasan tentang batasan dan persyaratan teknis, seperti bentuk dan isi karya ilmiah dan jurnal ilmiah. Sampai saat ini, para rektor masih mengkaji surat itu sambil menunggu penjelasan dari Ditjen Dikti.
“Kami sedang mempelajari batasan karya ilmiah itu apa? Karena bisa skripsi, laporan proyek akhir, atau tugas akhir bagi mahasiswa yang magang di sebuah instansi atau perusahaan,” kata Harjanto.
Bagi perguruan tinggi yang tidak lagi mengharuskan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana tetapi memberikan pilihan magang, kebijakan baru itu akan menyulitkan. Karena itu, para rektor mengusulkan memberi pilihan lain selain skripsi, seperti tugas akhir atau proyek akhir.
Gumilar mengatakan, untuk program magister dan doktor memang sudah seharusnya masuk jurnal ilmiah. Namun, untuk sarjana, barangkali belum, meski tujuannya baik untuk memacu kualitas karya ilmiah. “Jurnal ilmiah amat bervariasi dan prestisius. Karena itu, kompetisinya ketat dan sulit,” kata Gumilar.
Di UI saja, dalam satu tahun ada 4.500 mahasiswa yang lulus. “Sepanjang daya tampung jurnal mencukupi, tak masalah. Tetapi, jika jumlah jurnal hanya sedikit, akan mejadi masalah besar,” ujarnya.
Menurut Komaruddin, pemerintah ingin meningkatkan mutu pendidikan. Namun, kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat karena kualitas pendidikan di Indonesia sangat beragam, termasuk di jenjang pendidikan tinggi.
Kewajiban memasukkan karya ilmiah dalam jurnal dikhawatirkan bakal menghambat kelulusan program sarjana karena jumlah jurnal yang sangat terbatas.
0 komentar:
Posting Komentar