News Update :

Kenapa Banyak Sarjana Menjadi Pengganguran ?

Jumat, 17 Februari 2012


Mahasiswa merupakan produk dari Perguruan Tinggi yang nantinya manjadi generasi bangsa. Karena sudah banyak yang mengetahui jika mahasiswa menpunyai kualitas dan kemampuan yang sudah mumpuni di bidangnya.
Anggapan ini tidaklah berlebihan, karena pendidikan tinggi merupakan suatu wadah kelembagaan tertinggi yang harus digeluti seseorang dalam dunia pendidikan sebagai manifestasi dari sebuah harapan untuk menjadi seorang yang handal dan siap pakai, karena dibekali dengan kemampuan intelektualitas, mentalitas dan spritual yang lebih baik, dibandingkan dengan pendidikan dasar dan menengah.
Bahkan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja dewasa ini, baik pada badan pemerintah maupun swasta sudah menggunakan standar sarjana untuk menduduki jabatan-jabatan strategis. Artinya seseorang dengan predikat sarjana sebagai bukti telah mengenyam pendidikan tinggi, mendapat status sosial yang lebih baik dimata masyarakat, karena dipandang memiliki konsep pemikiran yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak atau belum mengenyam pendidikan tinggi. Alhasil pendidikan tinggi dewasa ini seakan telah menjadi sebuah kewajiban yang harus dilalui seseorang sebelum turun ke dunia kerja.
Namun kenyataannya tidak sedikit pula lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang harus ‘gigit jari’ ketika tidak mampu untuk bersaing dalam dunia kerja, sehingga menjadi pengangguran. Bahkan tingkat pengangguran yang berstatus sarjana di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Menurut data (Kompas 6/2, 2007),terjadi pelonjakan drastis jumlah sarjana menganggur dari 183.629 orang (2006) menjadi 409.890 orang (2007), dan jumlah pengangguran diploma 224.964 orang.
Ini mengindikasikan bahwa ada kelemahan dalam pola manajemen serta pengembangan pendidkan tinggi di Indonesia. Sehingga daya tarik dunia pendidikan tinggi di Indonesia mulai menunjukan kemunduran. Ini dapat dibuktikan dengan semakin meningkatnya minat masyarakat yang ingin menuntut ilmu di luar negeri seperti negara-negara Eropa, Amerika, Australia bahkan negara Asia seperti Jepang, Korea, Singapura telah menjadi negara kepercayaan masyarakat untuk menunutut ilmu, karena dianggap memiliki perguruan tinggi yang mampu memberikan bekal pengetahuan yang lebih baik. Bahkan kecenderungan ini sebagai respon balik atas lebih diprioritaskannya lulusan pendidikan tinggi dari luar negeri untuk diterima pada dunia kerja seklaigus menduduki jabatan-jabatan strategis.
Dengan melihat kenyataan ini, maka perguruan tinggi di Indonesia yang menyandang predikat sebagai penghasil sumberdaya manusia yang handal dan kompetitif demi kemajuan bangsa mendapatkan ’pekerjaan rumah’ yang cukup berat dan penuh tantangan, sehingga dituntut untuk menjadi agent of change. Dalam artian harus mejadi poros perubahan demi kemajuan bangsa yang lebih baik dan bermartabat. Untuk itu segala bentuk perubahan dalam menanggapi dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta merespon dinamika dunia kemahasiswaan dan tuntutan dunia kerja yang semakin kompetitif, maka sebuah perguruan tingi secara idealnya harus kreatif dan inovatif dalam merespon berbagai permasalahan yang dihadapinya.
Artinya sebuah institusi pendidikan tinggi harus responsif terhadap berbagai dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan serta reaktif terhadap segala bentuk perubahan ke arah yang lebih baik, karena mengelola sebuah pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan sumberdaya manusia dan pusat kajian ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat membutuhkan kreatifitas dan inovasi yang berorientasi ke arah kemajuan, dan harus responsif terhadap tantangan dunia kerja yang semakin kompetitif.

Mahasiswa sebagai sebuah Produk
Jika sebuah institusi pendidikan tinggi diibaratkan sebagai sebuah pabrik yang menciptakan sebuah produk, maka produk yang ingin dihasilkan dari sebuah institusi pendidikan tinggi adalah mahasiswa sebagai lulusan yang dibekali dengan ilmu pengetahuan dan attitude yang baik dan ideal sehingga diaharapkan mampu terjun dan survive ke dunia kerja, baik sebagai karyawan maupun sebagai seorang enterpreneurship yang handal dan kompetitif. Sehingga kehadirannya dalam dunia kerja nantinya bukan menjadi beban negara namun menjadi solusi terbaik dalam mengurangi tingkat pengangguran yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Untuk mewujudkan hal ini maka semuanya tergantung institusi pendidikan tinggi penghasil lulusan sebagai sebuah produk yang siap pakai. Sebuah intitusi pendidikan tinggi dalam menjalankan amanahnya sebagai ’pencipta’ sumberdaya manusia yang handal, dituntut mampu untuk menghasilkan lulusan yang ideal, sesuai visi dan misi institusinya yang harus disinergikan dengan visi Kementrian Pendidikan Nasional dalam mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif.
Bagaikan sebuah produk, maka lulusan pendidikan tinggi harus mampu menjadi daya tarik konsumennya baik masyarakat maupun dunia kerja. Masyarakat dalam artian calon mahasiswa untuk tertarik menuntut ilmu pada perguruan tinggi yang dipercaya mampu memberikan bekal ilmu pengetahuan dan attitude yang lebih baik dan ideal. Sementara dunia kerja adalah wadah bagi lulusan perguruan tinggi untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya saat di perguruan tinggi, yang diharapkan mampu memberikan yang terbaik bagi tempat dimana dia bekerja, sehingga mampu berkompetisi dalam dunia kerja. Untuk itulah peranan dunia pendidikan tinggi adalah bagaimana menciptakan produk yang kompetitif dan laku di pasaran, serta mengikuti perkembangan dan perubahan zaman.
Namun, apakah semua institusi pendidikan tinggi di Indonesia telah dapat menciptakan produk unggulan seperti yang diharapkan..?. Jika dilihat dari berbagai data statistik, secara umum dunia pendidikan tinggi di Indonesia belum mampu menjalankan amanah sebagai pencipta sumberdaya manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif, sebagaimana yang dimanahkan oleh pemerintah. Menurut Data Badan Pusat Statistik (2003) menunujukan bahwa makin tinggi pendidikan, makin rendah kemandirian / kewirausahaan (PT 6,14%; SMA 15,13%; SMP 18,8%; SD 19,715; TT 20,07%).
Bahkan selama ini di Indonesia, terjadi jurang pemisah yang semakin melebar, antara dunia pendidikan tinggi sebagai penghasil produk, dengan dunia kerja sebagai pemakai produk, karena dunia pendidikan tinggi belum mampu menciptakan lulusan yang dapat bersaing dalam dunia kerja, karena institusi pendidikan tinggi di Indonesia lebih berkutat membekali mahasiswa dengan hard skill dan mengabaikan kemampuan soft skill. Hal ini menandakan bahwa dunia pendidikan tinggi di Indonesia umumnya belum responsif terhadap tantangan dan perubahan zaman.
Padahal dunia kerja di Indonesia dewasa ini diperhadapkan kepada masalah keterbatasan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan Hard skill dan soft skill. Sehingga setiap lulusan perguruan tinggi yang selama ini lebih dibekali dengan kemampuan hard skill saja, pada saat terjun dalam dunia kerja terbyata mengalami kesulitan untuk mengembangkan potensi dirinya dalam menghadapi dunia kerja yang sangat kompetitif.
Dalam menciptakan sumberdaya manusia yang dapat memenuhi harapan dunia kerja. Maka perlu perubahan paradigma, yang tadinya hanya lebih berorientasi memenuhi kemampuan hard skill sebagai bentuk kemampuan teknis harus dilengkapi dengan pemenuhan kemampuan soft skill dengan memiliki attitude atau sikap yang baik, karena dunia pendidikan tinggi menjadi tumpuan dan harapan bangsa dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang mampu bersaing, baik secara nasional maupun global, dengan tetap berperilaku lokal yang dapat diwujudkan dengan moral yang baik, sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

www.unidar.ac.id
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright info wisuda 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.