Mahasiswa merupakan produk dari Perguruan Tinggi yang nantinya manjadi generasi bangsa. Karena sudah banyak yang mengetahui jika mahasiswa menpunyai kualitas dan kemampuan yang sudah mumpuni di bidangnya.
Anggapan ini tidaklah berlebihan, karena pendidikan tinggi
merupakan suatu wadah kelembagaan tertinggi yang harus digeluti seseorang dalam
dunia pendidikan sebagai manifestasi dari sebuah harapan untuk menjadi seorang
yang handal dan siap pakai, karena dibekali dengan kemampuan intelektualitas,
mentalitas dan spritual yang lebih baik, dibandingkan dengan pendidikan dasar
dan menengah.
Bahkan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja dewasa ini, baik
pada badan pemerintah maupun swasta sudah menggunakan standar sarjana untuk
menduduki jabatan-jabatan strategis. Artinya seseorang dengan predikat sarjana
sebagai bukti telah mengenyam pendidikan tinggi, mendapat status sosial yang
lebih baik dimata masyarakat, karena dipandang memiliki konsep pemikiran yang
lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak atau belum mengenyam pendidikan
tinggi. Alhasil pendidikan tinggi dewasa ini seakan telah menjadi sebuah
kewajiban yang harus dilalui seseorang sebelum turun ke dunia kerja.
Namun kenyataannya tidak sedikit pula lulusan perguruan
tinggi di Indonesia yang harus ‘gigit jari’ ketika tidak mampu untuk bersaing
dalam dunia kerja, sehingga menjadi pengangguran. Bahkan tingkat pengangguran
yang berstatus sarjana di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
yang sangat signifikan. Menurut data (Kompas 6/2, 2007),terjadi pelonjakan
drastis jumlah sarjana menganggur dari 183.629 orang (2006) menjadi 409.890
orang (2007), dan jumlah pengangguran diploma 224.964 orang.
Ini mengindikasikan bahwa ada kelemahan dalam pola manajemen
serta pengembangan pendidkan tinggi di Indonesia. Sehingga daya tarik dunia
pendidikan tinggi di Indonesia mulai menunjukan kemunduran. Ini dapat
dibuktikan dengan semakin meningkatnya minat masyarakat yang ingin menuntut
ilmu di luar negeri seperti negara-negara Eropa, Amerika, Australia bahkan
negara Asia seperti Jepang, Korea, Singapura telah menjadi negara kepercayaan
masyarakat untuk menunutut ilmu, karena dianggap memiliki perguruan tinggi yang
mampu memberikan bekal pengetahuan yang lebih baik. Bahkan kecenderungan ini
sebagai respon balik atas lebih diprioritaskannya lulusan pendidikan tinggi
dari luar negeri untuk diterima pada dunia kerja seklaigus menduduki
jabatan-jabatan strategis.
Dengan melihat kenyataan ini, maka perguruan tinggi di
Indonesia yang menyandang predikat sebagai penghasil sumberdaya manusia yang
handal dan kompetitif demi kemajuan bangsa mendapatkan ’pekerjaan rumah’ yang
cukup berat dan penuh tantangan, sehingga dituntut untuk menjadi agent of
change. Dalam artian harus mejadi poros perubahan demi kemajuan bangsa yang
lebih baik dan bermartabat. Untuk itu segala bentuk perubahan dalam menanggapi
dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta merespon
dinamika dunia kemahasiswaan dan tuntutan dunia kerja yang semakin kompetitif,
maka sebuah perguruan tingi secara idealnya harus kreatif dan inovatif dalam
merespon berbagai permasalahan yang dihadapinya.
Artinya sebuah institusi pendidikan tinggi harus responsif
terhadap berbagai dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan serta reaktif
terhadap segala bentuk perubahan ke arah yang lebih baik, karena mengelola
sebuah pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan sumberdaya manusia dan
pusat kajian ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat membutuhkan kreatifitas dan
inovasi yang berorientasi ke arah kemajuan, dan harus responsif terhadap
tantangan dunia kerja yang semakin kompetitif.
Mahasiswa sebagai sebuah Produk
Jika sebuah institusi pendidikan tinggi diibaratkan sebagai
sebuah pabrik yang menciptakan sebuah produk, maka produk yang ingin dihasilkan
dari sebuah institusi pendidikan tinggi adalah mahasiswa sebagai lulusan yang
dibekali dengan ilmu pengetahuan dan attitude yang baik dan ideal sehingga
diaharapkan mampu terjun dan survive ke dunia kerja, baik sebagai karyawan
maupun sebagai seorang enterpreneurship yang handal dan kompetitif. Sehingga
kehadirannya dalam dunia kerja nantinya bukan menjadi beban negara namun
menjadi solusi terbaik dalam mengurangi tingkat pengangguran yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
Untuk mewujudkan hal ini maka semuanya tergantung institusi
pendidikan tinggi penghasil lulusan sebagai sebuah produk yang siap pakai.
Sebuah intitusi pendidikan tinggi dalam menjalankan amanahnya sebagai
’pencipta’ sumberdaya manusia yang handal, dituntut mampu untuk menghasilkan
lulusan yang ideal, sesuai visi dan misi institusinya yang harus disinergikan
dengan visi Kementrian Pendidikan Nasional dalam mewujudkan insan Indonesia
yang cerdas dan kompetitif.
Bagaikan sebuah produk, maka lulusan pendidikan tinggi harus
mampu menjadi daya tarik konsumennya baik masyarakat maupun dunia kerja.
Masyarakat dalam artian calon mahasiswa untuk tertarik menuntut ilmu pada
perguruan tinggi yang dipercaya mampu memberikan bekal ilmu pengetahuan dan
attitude yang lebih baik dan ideal. Sementara dunia kerja adalah wadah bagi
lulusan perguruan tinggi untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya saat di perguruan tinggi, yang diharapkan mampu memberikan yang
terbaik bagi tempat dimana dia bekerja, sehingga mampu berkompetisi dalam dunia
kerja. Untuk itulah peranan dunia pendidikan tinggi adalah bagaimana
menciptakan produk yang kompetitif dan laku di pasaran, serta mengikuti
perkembangan dan perubahan zaman.
Namun, apakah semua institusi pendidikan tinggi di Indonesia
telah dapat menciptakan produk unggulan seperti yang diharapkan..?. Jika
dilihat dari berbagai data statistik, secara umum dunia pendidikan tinggi di
Indonesia belum mampu menjalankan amanah sebagai pencipta sumberdaya manusia
Indonesia yang cerdas dan kompetitif, sebagaimana yang dimanahkan oleh
pemerintah. Menurut Data Badan Pusat Statistik (2003) menunujukan bahwa makin
tinggi pendidikan, makin rendah kemandirian / kewirausahaan (PT 6,14%; SMA
15,13%; SMP 18,8%; SD 19,715; TT 20,07%).
Bahkan selama ini di Indonesia, terjadi jurang pemisah yang
semakin melebar, antara dunia pendidikan tinggi sebagai penghasil produk, dengan
dunia kerja sebagai pemakai produk, karena dunia pendidikan tinggi belum mampu
menciptakan lulusan yang dapat bersaing dalam dunia kerja, karena institusi
pendidikan tinggi di Indonesia lebih berkutat membekali mahasiswa dengan hard
skill dan mengabaikan kemampuan soft skill. Hal ini menandakan bahwa dunia
pendidikan tinggi di Indonesia umumnya belum responsif terhadap tantangan dan
perubahan zaman.
Padahal dunia kerja di Indonesia dewasa ini diperhadapkan
kepada masalah keterbatasan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan Hard
skill dan soft skill. Sehingga setiap lulusan perguruan tinggi yang selama ini
lebih dibekali dengan kemampuan hard skill saja, pada saat terjun dalam dunia
kerja terbyata mengalami kesulitan untuk mengembangkan potensi dirinya dalam
menghadapi dunia kerja yang sangat kompetitif.
Dalam menciptakan sumberdaya manusia yang dapat memenuhi
harapan dunia kerja. Maka perlu perubahan paradigma, yang tadinya hanya lebih
berorientasi memenuhi kemampuan hard skill sebagai bentuk kemampuan teknis
harus dilengkapi dengan pemenuhan kemampuan soft skill dengan memiliki attitude
atau sikap yang baik, karena dunia pendidikan tinggi menjadi tumpuan dan
harapan bangsa dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang mampu bersaing, baik
secara nasional maupun global, dengan tetap berperilaku lokal yang dapat
diwujudkan dengan moral yang baik, sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia.
www.unidar.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar